- Golongan Apatis, mereka yang tidak peduli tergadap aspek sosial, hanya mengeluh dan mengharap perubahan jatuh dari langit
- Golongan Oportunis, mereka yang mencari panggung untuk kepentingan diri sediri
- Golongan phragmatic / fragmatis, mereka inilah yang cenderung memiliki skill tertentu dan menjadi sumber utama yang me”mapar”kan hal tertentu demi kepentingan mereka
3 Jun 2019
Terpapar effect
“Hmm…” kurang lebih itu guman saya, saat mendengar
kata “Terpapar” yang akhir akhir ini jadi trending topik hampir disetiap
obrolan dengan berbagai kalangan.
Mahasiswa terpapar, Militer
Terpapar, anak anak terpapar, tukang krupuk, tukang bakso terpapar…
Kenapa nggak ter”tampar” atau
ter”gampar” aja sekalian?
Saya juga pernah terpapar…
terpapar cinta… wuah berjuta rasanya, hari hari menjadi begitu indah, semua
terlihat sempurna dan hiduppun terasa panuh semangat membahana.. ahahaha…
Maaf, ngga maksud mencibir
ataupun meremehkan keadaan papar mempapar ini, tapi nggak sekali dua kali saya
dihubungi, didatangi, di lobby mereka yang mencoba me”mapar” saya dengan
keyakinan mereka terhadap suatu hal.
Hasilnya, mereka balik badan dan
ngedumel karena ngga bisa mempengaruhi saya.
Buat saya, janji janji manis dan masa
depan bertabur bintang yang mereka lontarkan, hanyalah sebuah khayalan yang
akan berakhir tragis… khususnya buat saya.
Lha wong, saya ini dari dulu
diciptakan harus bekerja dan berjuang mencari rejeki plus pontang panting
nambah ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup, tolong dicatat, sampai detik
inipun saya berdiri, bukan merupakan sebuah hasil karena hanya nurutin kata
orang harus begini dan begitu.
Pergolakan yang terjadi di negeri
ini, bukan hanya sekali diramaikan masalah papar memapar ini.
Kalau boleh saya mencari padanan
kata “Terpapar”, mungkin akan lebih tepat kalau menggunakan kata ter”pengaruh”,
ter”kibuli” atau ter”gombali”
Kata “Terpapar” yang saya kenal
biasanya digunakan dalam konteks epidemik sebuah wabah penyakit yang menyebar
dengan cepat dalam sebuah lingkungan, obatnya… gampang saja, isolasi daerah itu
dan cari penyebabnya untuk selanjutnya tinggal diberikan obat penawar.
Layaknya sebuah wabah, Trend
“Terpapar” saat ini memang agak sedikit lebih rumit untuk disembuhkan, karena
lebih dekat kepada unsur sosiologi dan intelektualitas ketimbang unsur biologi.
Radikalisme adalah sebuah sel
yang tertanam disetiap manusia, semua orang memilikinya, sejauh mana sel ini
akan berkembang biak dan menyebabkan kerusakan, semua tergantung pada sang
manusia.
Dalam dunia Intelejen, “Power of
repeatation” atau kekuatan pengulangan, dikenal cukup ampuh untuk merubah cara
pandang sesorang terhadap suatu keyakinan, cara yang sama, tanpa kita sadari,
juga dilakukan dalam bidang lain bernama
“marketing”, saat sebuah produk berulang kali di promosikan sebagai barang
murah atau diskon gede gedean, maka tinggal masalah waktu kita yang mendengar
akan mempercayainya tanpa mempertimbangkan kualitas dan logika.
Power of repeatation dalam
sejarahnya pernah dilakukan dalam bentuk propaganda oleh negeri berorientasi
“tidak ber Tuhan”, para penguasa melakukan himbauan dan ajakan untuk
mempercayai apa yang dikumandangkan, demi meningkatkan kepercayaan, bahkan
membuat sesorang bertindak irasional dan berperilaku ekstrem.
Sejarah telah mencatat hasilnya,
ribuan rakyat jepang mati sia sia saat Herosima dan Nagasaki luluh lantak
dihajar bom atom, ratusan pilot melakukan kamikaze demi harga diri, jutaan
orang mati sia sia karena sebuah keyakinan bahwa ras Aria lebih superior dari
ras manapun dan puluhan ribu sapi harus dibakar karena ter”papar” virus antrax.
Semua berakhir tragis, bahkan
polemik politik di Venezuelapun yang paling up to date, berakhir dengan skor
satu kosong untuk pemerintahan yang sah.
Jangankan anda, sayapun geram
melihat begitu banyak orang bertingkah aneh bin ajaib demi membela keyakinanya
yang (menurut saya) tidak selalu memiliki kualitas.
Terus.. apa yang bisa kita
lakukan? Jujur ya... ngga ada… kalau kita sendiri ga total melawan.
Bukan kita yang memulai perang,
tetapi mereka duluan yang menabuh genderang perang!
Jadi, sebaiknya kita harus lebih
cerdas membangun strategi untuk bertahan dan melawan di tempat dan saat yang
tepat! Itu kuncinya!
Konfrontasi jelas bukan pilihan,
karena itulah yang mereka (para kaum pemapar) tunggu dan cari.
Kata kuncinya “cerdas”, mereka
yang mudah ter”papar” adalah mereka yang hanya hidup dalam tempurungnya sendiri
dan menjunjung mimpi sebagai sebuah prestasi.
Sigmund Freud https://psychoanalysis.org.uk/our-authors-and-theorists/sigmund-freud,
jauh jauh hari sudah mengingatkan bahwa Manusia tidak akan pernah bisa lepas
dari 3 unsur utama alam bawah sadar, conscious, preconscious dan sub conscious,
semua perilaku kita tanpa kita sadari bergantung pada 3 hal tersebut.
Saya ber teori, ada 3 kelompok manusia
yang rentan ter”papar” suatu faham yang kontra dengan norma norma sosial dan
berkehidupan.
Lho ? berarti semua orang bisa
terpapar dong? Sedihnya.. iya, tapi jangan lupa kita masih punya Golongan
Idealis dan yang utama adalah Golongan “Waras”is alias kelompok orang orang
waras! Wkwkwk… sebenarnya, analisa strategis saya lebih dalam mebahas hal ini,
tapi atas nama ke hati hatian, saya
tidak dapat secara gamblang memaparkan seluruhnya kepada publik.
Seperti sudah dibahas diatas,
Power of repetation, adalah strategi yang umumnya digunakan oleh mereka yang
mencoba me”mapar”kan suatu hal yang Seolah olah benar, dengan bumbu
radikalisme.
Mereka akan meng ulang ulang
narasi yang sama, dengan kedok perintah Agama (biasanya) dan tambahan bumbu
fitnah dan cerita karangan versi mereka, demi mempengaruhi korbanya.
Parahnya lagi, mereka adalah
orang orang yang tidak bersembunyi dan ada di depan kita, merekapun tampil sebagai sosok yang secara kasat mata
terlihat patut untuk dijadikan panutan.
Dalam perjalanan Negeri bernama
Indonesia, sudah berkali kali kita di hadapkan pada konflik berbau separatisme dan
radikalisme, dan berkali kali pula Burung Garuda penjaga NKRI Tegak berdiri bersama
dasar Negara Pancasiladan UUD1945.
Teori Sigmund Freud pada intinya mengingatkan
kita agar selalu dalam keadaan “Alert”, waspada pada setiap kondisi dan siap
melakukan tindakan preventive untuk menghindari keadaan terburuk.
Setuju, bahwa manusia suatu saat
akan memiliki kelengahan, tetapi jangan lupa, Tuhan memberikan early warning
bernama firasat dan logika pada setiap mahluknya.
Ketahui dulu siapa lawanmu maka
kamu akan tahu cara paling tepat untuk menghadapinya, gitu kata sun Tzu,
seorang jenderal ahli strategi perang yang menulis teori strateginya di abad ke
6 sebelum masehi dan masih dijadikan acuan seluruh militer dunia sampai saat ini.
Sedangkan teori saya mungkin
terdengar agak absurd, “layaknya membengkokan sebatang Besi yang Lurus, kita
akan berupaya sangat keras untuk membengkokanya, tetapi apabila sebuah besi
telah bengkok, apapun upaya yang dilakukan untuk meluruskanya, kalaupun berhasi
kelurusan sang besi tidak akan pernah sempurna.
Demikian juga dengan Manusia,
semua terlahir “Lurus” tanpa cacat dan cela, orang tua manapun tidak akan mem”bengkok”an
jalan seorang anak menuju arah yang salah.
Mereka yang berada di sekitar
kita, orang tua, anak, kakak, adik, saudara, teman, sahabat harus saling
menjaga dan saling mengingatkan.
Katakan yang salah adalah salah
dan yang benar adalah benar!
Jadikan Ilmu pengetahuan,
pengalaman dan Agama sebagai satu kesatuan formula untuk meningkatkan kualitas
hidup, bukan sebagai bagian yang terpisah.
Bukan hal yang mudah merubah
suatu hal yang tanpa kita sadari sudah terlanjur ter”papar” dalam jangka waktu
yang lama.
Luangkan waktu untuk berpikir “Cerdas”,
saat kita tahu orang yang kita sayangi mulai berperilaku anti sosial dan
memiliki tendensi negative, bertindaklah segera tanpa kompromi.
Tidak ada yang bisa kita lakukan
selain mencegah, karena kalau sampai kita harus merubah, maka perjuangnya akan
jauh lebih sulit.
Jangan paparkan mereka yang masih
“lurus” (anak anak yang masih dibawah umur dan mereka yang masih mencari jati
diri) dengan hal yang tidak kita ketahui.
Berikanlah mereka hak dalam menetukan
pilihan dan perkaya dengan kemampuan tambahan yang bersifat sosial, seni,
budaya dan teknologi.
Jauhkan segera dari lingkungan
berpengaruh buruk, bahkan dalam hal pendidikan sekalipun.
Dan jangan pernah lelah dan
lengah, karena mereka yang mencari mangsa akan terus mencoba dengan segala cara.
Paparan Radikalisme tidak akan
bisa kita hadapi dengan kekuatan apapun selain meng”upgrade” diri kita sendiri
dengan pola pikir yang berdasar pada logika dan keterbukaan wacana.
Setuju, bahwa segala hal yang
berbau duniawi adalah hanya sementara, tapi jangan lupa bahwa kita berpijak
pada bumi dan beratap langit selama kita masih bernafas, hargailah apa yang
maha kausa berikan kepada kita, toh kita tidak harus menuruti “kata orang”
untuk menuju kehidupan kekal selanjutnya kan?
Terpapar atau memaparkan diri
adalah sebuah pilihan.
Cerdaslah dan pertimbangkan
dirimu dan lingkungan terdekatmu sebelum kamu memikirkan orang lain yang “belum
tentu” memikirkanmu disaat mereka sudah menguasaimu demi kepentingan mereka.
Middle 2019
Joey B
Saya Masih waras
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar