30 Des 2019

2020 = 20 X Semua Mimpi



Sejak gw nongol di bumi, baru sekali ini lihat Tahun baru dengan formasi angka dobel cantik, 2020
Bersyukur? pastilah, gw sangat bersyukur dengan segala kekurangan, masalah, kesedihan, kehilangan, kesebelan, kekeselan  dan kelebihan yang sudah gw jalanin dan alami sepanjang tahun 1800an, 1900an, 2000an
Jangan nyinyir, tau apa kalian yang belom lahir di tahun 1800 dan 1900an? Jangan bangga karena lahir di 2000an dan berasa masih muda , fyi, kalian ngga akan tambah muda jugalah kedepanya
Seperti biasa, saat semua orang jerit jerit dan saling cipika cipiki menyambut tahun baru, satu titik hitam legam muncul dari kejauhan dan semakin mendekat hingga menutup lembaran putih bersih yang sudah setengah mati dipertahankan di pelupuk mata Selama tahun tahun sebelumnya.
Lo tau apa yang akan terjadi di masa depan? Nggak!
Apa lo tau, akan ada kesuksesan atau kegagalan di tahun yang baru? Nggak!
Yang pasti dan mungkin terjadi di masa depan adalah, kalau si Kim Jong Un ngga sengaja mijit tombol nuklirnya waktu dia lagi latian joget Zumba, Kelar bumi tercinta ini.
Perang Dunia jilid 1 dan 2 sudah terjadi, berapa persen kemungkinan dunia kiamat saat itu? 10%
Kalau harus berlanjut ke Jilid ke 3, berapa persen kemungkinan kita kiamat? 1000%
Wkwkw.. ga penting banget analisanya ya
Kita semua udah liat, jijik, eneg, miris dan apalah namanya lihat berbagai drama murahan yang terjadi sepanjang tahun 2000an.
Khususnya di akhir 200an, kegilaan dunia sosial media yang dipuja sejuta umat, sudah melahirkan sekelompok Homo Sapiens berkualitas rendah, mulai dari politisi, celebritis, pejabat sampai kroco mumet macam gw, bertingkah polah bak manusia Goa  yang bukan aja Cuma bisa saling mencaci dan memaki, tapi bahkan bisa memecah belah sebuah keluarga. Hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Akankah drama seperti itu akan berlanjut di tahun mendatang? Pasti!
Gw pesimistik? Salah.. Gw Skeptik lebih tepatnya, karna gw ngga pernah menganggap opportunity sebagai opportunity, semua opportunity dalam kamus gw masuk dalam kategori Challenge.
90% failed 10%Goals, high standard is a must.
What can I say, I do what I eat and I eat what I do, nothings ever comes easy
The point is, di tahun yang baru dengan harapan baru, kadang bahkan sering, kita masih berjalan dengan cara lama yang sudah kita biasa lakukan.
Merubah bukan hal yang mudah, walaupun kita tahu itu sebuah keharusan.
Gw bukan orang bijak yang mampu berbagi cara menuju keajaiban
Menjaga selembar kertas putih utuk tetap bersih dan rapih ngga lebih gampang dari menjaga selembar kertas hitam legam.
Selama lembaran itu kosong, tetap ngga aka ada artinya. Setuju?
Isi dengan segala macam ide, rencana, teori, strategi dan segala coretan lainya
Bukan hanya sekedar makian dan cacian, omong kosong dan rayuan
Tapi sesuatu yang bisa membuat perubahan, apapun itu selama untuk menjadi lebih baik.
Segala doa dan harapan untuk lebih baik, kadang tersapu bersih setitik ombak permasalahan yang kerap terjadi, jangan cupu, setiap jalan pasti punya hambatan.
1 pelajaran mahal yang gw dapet dari perjalanan hidup sebelum 2020
Bodohlah utuk diri sendiri, jangan menyebarkan kebodohanmu ke semua orang
Ngga ada yang lebih baik dari orang bodoh yang tidak membodohi orang lain
Orang Bodoh pasti belajar utuk jadi Pintar
Orang Pintar.. sejauh ini sih paling banter cuma bisa minum jamu tolak angin
Selamat tahun baru 2020
Jangan sok muda, kamu belum tentu akan lihat tahun baru 3030
Itu 1010 tahun lagi tauk

JB Last day of 2020

5 Jun 2019

Degradasi Tata Krama



"Selamat Siang Pak, ada yang bisa dibantu?"
"Oom Henponya Oom Boleh.. dilihat dulu aja"
"Parfumnya Kakaaaa.. semerbak Kakaaaa…"
"Bundaa... mampir dulu lagi diskon Bun... boneka lucu buat si kecil"
Sering dengar kan ya… Sapaan bersahabat sosok security saat kita masuk ke dalam bank atau teguran halus dari para SPG dan Sales di sebuah mal yang mencoba menebar rayuan supaya kita mampir dan membeli produk mereka, semua dilakukan atas nama mendapatkan perhatian dari kita yang dalam kehidupan sehari hari, sudah cukup ruwet direpotkan dengan segala hal.
Sayapun terus melenggang menuju sebuah Coffee shop di dalam sebuah mall terkenal di Jakarta selatan, setelah membeli segelas Teh beraroma chamomile (maaf saya ngga ngopi) dan plain croissant, saya membuka laptop dan duduk sambil mencari inspirasi.
Celoteh para pengunjung terdengar di kiri kanan kuping saya, sekumpulan remaja membicarakan urusan artis korea dan beberapa pria memperdebatkan (lagi lagi) urusan politik di negeri ini.
“kalau gua sih yakin Jok*wi bisa jadi lagi, soalnya kan ada Megaw*ti dan Surya Pa*oh, belom lagi Sri Mulya*i, Yusuf Ka*a, Muhaim*n, bla bla bla…
Nyeessss.. kurang lebih begitulah bunyi rasa sesak di ujung hati saya, saat mendengar celotehan sekumpulan orang berpakaian bak esekukutif muda di meja sebelah.
Apa yang salah dengan mereka? Guman saya dalam hati
Mereka bukan anak kecil, dari cara berpakaian dan gadget yang terus menerus berada di dalam genggamanpun sudah bisa menunjukan strata sosial dan ekonomi mereka bukan berada di level yang berkekurangan.
Kalaupun mereka bukan anak kecil, sayapun sejujurnya ga tua tua amat (sorry ye.. kenyataanya emang begitu wkwkw…) , tapi jelas mereka dan saya minimal sudah pernah merasakan punya  4 atau 5 presiden di republik ini, selama perjalanan hidup mereka… dan saya.
Pak Harto, Gus Dur, Bu Megawati, Pak Habibie, Pak SBY dan sekarang Pak Jokowi
Saya jadi teringat waktu kecil, begitu marahnya bapak saya yang seorang tentara, saat saya menyebut nama kakak saya tanpa menggunakan embel embel “Mas” di depan namanya.
“kamu itu adiknya, harus sopan, kalau manggil kakakmu harus pakai Mas!”
Mak Nyuuus… boro boro ngelawan, saya hanya diam seribu bahasa, dan sejak itu, kata “Mas” pun selalu menjadi nama depan kakak saya.
That’s what we call it “Brand Equity” alias The Value of having a well known brand name… kata pakar marketing di seluruh dunia.
hmm... guman saya dalam hati… untung saya bukan barang ya…
Bisa bayangin nggak, kalau saya masuk bank atau toko, para Sekuriti atau SPG yang semlohay itu akan manggil nama saya.. 

“Selamat Siang Nyeet, ada yang bisa dibantu?” Atau 
“mampir dulu “nyet” henponya lagi diskon” atau  NYAT NYET NYAT NYET Lainya…
Wuaduuh… Mo Tarok dimana muke gw yang kece ini didepan orang banyak… ahahaha…
“Lack of Respectation” atau lebih tepat disebut “Moral Degradation” yang dalam bahasa gampangnya bisa dibilang “Kagak punya Sopan Santun” sudah Sah menjadi Trend yang halal hukumnya di ikuti oleh seluruh generasi di negeri ini.
Tidak pandang bulu, rambut dan kuku, strata sosial, ekonomi dan intelektual, bahkan rentang usiapun tak lagi bisa memagari batas kesopanan dan norma norma berkehidupan yang jelas tertulis  dan tidak tertulis.
Coba Panggil Guru kita disekolah tanpa pakai kata depan Ibu atau bapak *contoh: “Nita, saya minta ijin ke toilet” atau panggil Boss kita di kantor seperti ini “Darmin, saya hari ini izin pulang cepat ya”
Saya jamin, ngga sampai 10 menit, kita pasti bisa merasakan akibatnya ^_^
“Brand Equity” sebagai sumber dari segala sumber kekuatan sebuah produk untuk memiliki eksistensi dan kepercayaan publik, memang terbukti sakti mempengaruhi pola persaingan di pasar.
Trend global dan cepatnya perkembangan teknologi informasi juga ikut andil berkontribusi, atau lebih tepat (secara spesifik) memporak porandakan tatanan norma norma di segala sudut kehidupan.
Tidak perlu lagi membangun karakter dalam waktu lama, hanya dalam tempo cepat dan murah, sebuah produk atau sesosok manusia bisa langsung melejit ke puncak popularitas, hanya dengan strategi sederhana bernama “Kontroversial”
Old Skool ya saya? Kolot? Atau cara mikirnya jadul?
Terserah mau dibilang apa, yang jelas (menururt saya), Saat kita “TERBIASA” meninggalkan norma kesopanan dan Tata karma, maka sejak itu pula kita akan cenderung merasa lebih superior dan meremehkan segala suatu.
Bagaimana mungkin kita bisa “Upgrade” diri kita sendiri, kalau kita tidak bisa melihat mana yang baik dan buruk? Mana yang sopan dan mana yang koplak? Mana yang benar dan mana yang Hoax?
Jangankan bisa bekerja lebih baik dari orang lain, yang pasti sih akan jadi jagoan teori dan lebih pinter mencibir tentang hasil karya orang lain.
Lah gimana? Di Jaman Now ini, ngga perlu lagi susah susah belajar dan berpikir, apalagi mempertimbangkan Tata Krama sebagai referensi tambahan,  hanya dengan ngetik di search engine, kita udah bisa tau segala hal, mulai dari masak nasi goreng sampai cara ngirim orang ke bulan.
Tapi apa iya kalau kita disuruh masak nasi goreng, rasanya akan se enak nasi goreng langganan di tikungan komplek?  Apalagi kalau disuruh mikir pergi ke bulan gaeeess… boro boro
Pinter itu Relative ! Goblik itu Mutlak ! Setuju?
Marketing Strategy adalah sebuah Tools yang tidak akan pernah berhenti mencari cara baru untuk mendorong sebuah wujud menjadi Populer! Itu sudah pasti.
Percuma Dilawan… di bawa santai ajah :p
Tata Krama dan Kesopanan justru akan tetap berdiri Tegak di tempatnya, dan jangan pernah berharap akan berubah wujud  menjadi bentuk yang lain.
Dalam Konteks Politik, kelompok Oposisi jelas akan meng”halal”kan segala cara untuk merobohkan lawanya dengan berjuta rencana.
Jangan harap Tata Krama dari mereka, Selama mereka masih lapar mencari kuasa, Tata Boga dan Tata Kata lah yang akan jadi panutan utama.
Kita memang ngga bisa berharap orang akan “Respect” kepada kita… iya kan?
Tapi inget ya… kalau kita ngga punya rasa Respect sama orang (apalagi yang lebih tua), kita juga ngga ada bedanya sama mereka yang ngga punya Tata Krama.
Marah ngga, kalau bapak kita di sebut namanya tanpa sopan santun? Hei.. kau anaknya Indro ya?
Marah ngga, kalau ada orang yang titip pesan ke ibu kita dengan cara “ titip pesen sama si Nia ya”
Langit terang berganti warna menjadi ke emasan saat Saya akhirnya menyudahi “tongkrongan” di coffe shop dengan tersenyum
“Untung saya dididik untuk menghormati orang lain… siapapun itu”
“Untung saya punya teman teman yang masih manggil saya Mas, Dek, Oom, Broh”
“Untung para SPG masih manggil saya.. Kakaak... Boleh Kakak Boleh Kakak”
Sekali lagi… saya ngga bisa bayangin kalau Tata Krama sudah punah dari dunia
Mungkin saya akan ikut ikutan manggil kamu… Halo Nyeeet… kamu apa kabar siiih…

Manggil pacar aja pake istilah “Beeibb… Saay.. honeey… Cintakuuh…” masak panggil Presiden Cuma namanya doang…  situ okeee ?
Middle 2019
JOEY Bee
Panggil saya Nyet, jangan marah kalau tak tendang


3 Jun 2019

Radical Vs Radicalism


Setelah beberapa tulisan saya yang berkaitan dengan issue politik dipendam bertahun tahun, akhirnya  saya “terpaksa” menyentuh wilayah super sensitive ini
Sejujurnya saya tidak tertarik dengan hal berbau politik dan segala sebab akibatnya (seperti sudah sering saya bilang), rasa gemes lah yang akhirnya membuat saya menerbitkan sedikit uneg uneg absurd, yang saya coba rangkum menjadi sebuah anilsa bodoh berbentuk tulisan nggak mutu ini.. hehehe..
Straigh to the point, sebelum masuk ke inti permasalahan, setidaknya saya mencoba memahami arti kata radikal dan radikalisme secara popular
Merujuk pada beberapa literatur, pengertian Radical adalah : sebuah perasaan (afeksi) positif terhadap sesuatu yang bersifat ekstrim sampai ke akar akarnya, sikap radikal (menururt Dr.Sarlito Wirawan:2012) akan cenderung membela mati matian mengenai suatu kepercayaan , keyakinan agama, atau ideology yang dianutnya.
(Kika Nawangwulan: 2015) lebih tegas mengatakan bahwa radical adalah sebuah perilaku / perbuatan kasar yang bertentangan dengan norma dan nilai nilai sosial
Di adopsi dari bahasa Latin, Radix / Radic yang berarti “Root”, Radical adalah sebuah perilaku yang merupakan ekspresi yang berdasar pada keyakinan yang terakumulasi dalam jangka waktu yang lama dan telah mengakar pada diri sesorang (menurut saya)
Si “Radical” ini sebenarnya bukan barang baru, sejak abad ke 19, pergerakan ini digunakan pada saat terjadinya revolusi perancis oleh sekelompok orang untuk secara drastic merubah haluan politik dan sistim pemerintahan
https://www.encyclopedia.com/history/dictionaries-thesauruses-pictures-and-press-releases/radicals-and-radicalism
jamanya civil war di Amerika, perilaku ini juga telah menjadi “Label” kelompok republican untuk menyerang kelompok konfederasi dengan issue sosial dan hak asasi demi merubah arah haluan politik Amerika.
Ok, Stop belajar Sejarah, Sekarang apa bedanya Radical dengan Radicalism?
Radikal gampangnya adalah sebuah perasaan dan perilaku yang tertanam dalam diri sesorang, kalaupun akhirnya nanti akan tersalurkan dalam bentuk perilaku positive atau negative, ya tergantung dari apa yang dipahami ornag yang bersangkutan… kok gitu?
Apa yang salah dengan pemahaman radikal? Ngga ada yang salah… yang salah itu kalau outputnya akan merugikan orang lain, Simplenya gini, kalau kita berkeyakinan bahwa Tuhan itu ada dan kita tanamkan pada diri kita bahwa Tuhan itu mengajarakan hal baik dan tidak boleh manyakiti mahluk lain, ya outputnya, kita akan memiliki sebuah pagar kokoh dalam diri kita untuk percaya kepada Tuhan dan selalu berpegang apda prinsip kebaikan.. (jangan di debat dulu ya..)
Sebuah perilaku yang cenderung bersifat keyakinan teguh terhadap sebuah hal dengan output positive (atau hanya untuk konsumsi diri sendiri tanpa melibatkan orang lain) ini, lebih dikenal dengan perilaku Fanatis / fanatic.
Kita ngga akan membahas fanatic / fanatisme dalam ulasan ini deh.. ntar kepanjangan.. :p
Balik ke Radikalisme, bedanya dengan radical, Radikalisme ini adalah biang kerok dari berbagai perilaku yang terakumulasi akibat paham yang di suntikan secara terus menerus kepada orang orang melalui jalur yang mereka yakini (contohnya Agama)
Nah.. that’s why I never and ever likes politics.. dalam Politik, yang hitam bisa jadi putih dan yang putih bisa jadi ijo..  Sebut aja saya Naif, tapi saya orang yang bisa membedakan mana Politik dan mana Agama.
Masalahnya adalah, Para politikus berkualitas rendah di negeri ini  selalu mencampur adukan unsur Agama untuk memuluskan keinginan mereka menjadi penguasa, semua hal yang berbau kualitas individu dan parameter kapabilitas seseorang untuk menjari pemimpin akan jadi Absurd, karena berbenturan dengan suatu hal yang abstrak ! boro boro mereka punya program dan rencana berkualitas untuk memajukan bangsanya.. hampir semua yang di propagandakan seolah hanya mimpi di awang awang dan 99% jauh dari applicable, Debat dengan merekapun akan berujung pada pak kusir yang sedang bekerja.. alias debat kusir ! karena segala logika akan terbentur dengan tembok besar bernama Agama.
Jangan Melotot lah.. saya punya Agama dan saya percaya Tuhan, tapi sebuah Negara kan juga harus tetap memiliki integritas dalam perjalananya, semua hal harus memiliki porsi yang cukup, demi tegak dan majunya sebuah bangsa.
Buat saya, persaingan politik haruslah berpegang pada prinsip dasar tata Negara dan mempertimbangkan kemakmuran dan kemajuan bangsa, buatlah program berkualitas dengan berkaca pada prestasi yang telah dicapai di era sebelumnya, bukan hanya retorika belaka yang penuh janji manis dan penggalangan opini tentang sebuah kegagalan dan ajakan untuk bertindak radikal demi mencari kuasa.
Sejak dilahirkanya NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Burung Garuda sudah terbukti menjadi trio sakti yang mampu menahan berbagai ideologi dan paham miring yang selalu mencoba untuk merubah haluan negeri gemah ripah loh jinawi ini, (btw, ini terlepas dari beberapa penguasa yang serakah memperakaya diri sendiri loh yaaa)
Ribuan rakyat, ratusan pahlawan dan puluhan martirpun telah berpulang demi mempertahankan sang Negeri Demokrasi yang disegani seantero jagad! Jangan pernah lupa itu!
Mau bertindak Radikal? Boleh… silahkan berhadapan dengan hukum dan undang undang
Mau berpaham Radikalisme? Juga Boleh… silahkan yakini apa yang dipahami.. tapi Sendiri ! tetap dalam kardusmu! Gak usah  pengaruhin orang lain!
Kenapa Melotot? Yang udah udah kan selalu akhirnya orang lain yang rugi, saat kamu memaksakan radikalismemu, iya kan?
Berpolitik tuh yang Keren, prestasi dan kualitas dulu tunjukin! Baru koar koar
JOEY B SAY NO TO RADICALISM (2019)

Terpapar effect



“Hmm…”  kurang lebih itu guman saya, saat mendengar kata “Terpapar” yang akhir akhir ini jadi trending topik hampir disetiap obrolan dengan berbagai kalangan.
Mahasiswa terpapar, Militer Terpapar, anak anak terpapar, tukang krupuk, tukang bakso terpapar…
Kenapa nggak ter”tampar” atau ter”gampar” aja sekalian?
Saya juga pernah terpapar… terpapar cinta… wuah berjuta rasanya, hari hari menjadi begitu indah, semua terlihat sempurna dan hiduppun terasa panuh semangat membahana.. ahahaha…
Maaf, ngga maksud mencibir ataupun meremehkan keadaan papar mempapar ini, tapi nggak sekali dua kali saya dihubungi, didatangi, di lobby mereka yang mencoba me”mapar” saya dengan keyakinan mereka terhadap suatu hal.
Hasilnya, mereka balik badan dan ngedumel karena ngga bisa mempengaruhi saya.
Buat saya, janji janji manis dan masa depan bertabur bintang yang mereka lontarkan, hanyalah sebuah khayalan yang akan berakhir tragis… khususnya buat saya.
Lha wong, saya ini dari dulu diciptakan harus bekerja dan berjuang mencari rejeki plus pontang panting nambah ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup, tolong dicatat, sampai detik inipun saya berdiri, bukan merupakan sebuah hasil karena hanya nurutin kata orang harus begini dan begitu.
Pergolakan yang terjadi di negeri ini, bukan hanya sekali diramaikan masalah papar memapar ini.
Kalau boleh saya mencari padanan kata “Terpapar”, mungkin akan lebih tepat kalau menggunakan kata ter”pengaruh”, ter”kibuli” atau ter”gombali”
Kata “Terpapar” yang saya kenal biasanya digunakan dalam konteks epidemik sebuah wabah penyakit yang menyebar dengan cepat dalam sebuah lingkungan, obatnya… gampang saja, isolasi daerah itu dan cari penyebabnya untuk selanjutnya tinggal diberikan obat penawar.
Layaknya sebuah wabah, Trend “Terpapar” saat ini memang agak sedikit lebih rumit untuk disembuhkan, karena lebih dekat kepada unsur sosiologi dan intelektualitas ketimbang unsur biologi.
Radikalisme adalah sebuah sel yang tertanam disetiap manusia, semua orang memilikinya, sejauh mana sel ini akan berkembang biak dan menyebabkan kerusakan, semua tergantung pada sang manusia.
Dalam dunia Intelejen, “Power of repeatation” atau kekuatan pengulangan, dikenal cukup ampuh untuk merubah cara pandang sesorang terhadap suatu keyakinan, cara yang sama, tanpa kita sadari, juga  dilakukan dalam bidang lain bernama “marketing”, saat sebuah produk berulang kali di promosikan sebagai barang murah atau diskon gede gedean, maka tinggal masalah waktu kita yang mendengar akan mempercayainya tanpa mempertimbangkan kualitas dan logika.
Power of repeatation dalam sejarahnya pernah dilakukan dalam bentuk propaganda oleh negeri berorientasi “tidak ber Tuhan”, para penguasa melakukan himbauan dan ajakan untuk mempercayai apa yang dikumandangkan, demi meningkatkan kepercayaan, bahkan membuat sesorang bertindak irasional dan berperilaku ekstrem.
Sejarah telah mencatat hasilnya, ribuan rakyat jepang mati sia sia saat Herosima dan Nagasaki luluh lantak dihajar bom atom, ratusan pilot melakukan kamikaze demi harga diri, jutaan orang mati sia sia karena sebuah keyakinan bahwa ras Aria lebih superior dari ras manapun dan puluhan ribu sapi harus dibakar karena ter”papar” virus antrax.
Semua berakhir tragis, bahkan polemik politik di Venezuelapun yang paling up to date, berakhir dengan skor satu kosong untuk pemerintahan yang sah.
Jangankan anda, sayapun geram melihat begitu banyak orang bertingkah aneh bin ajaib demi membela keyakinanya yang (menurut saya) tidak selalu memiliki kualitas.
Terus.. apa yang bisa kita lakukan? Jujur ya... ngga ada… kalau kita sendiri ga total melawan.
Bukan kita yang memulai perang, tetapi mereka duluan yang menabuh genderang perang!
Jadi, sebaiknya kita harus lebih cerdas membangun strategi untuk bertahan dan melawan di tempat dan saat yang tepat! Itu kuncinya!
Konfrontasi jelas bukan pilihan, karena itulah yang mereka (para kaum pemapar) tunggu dan cari.
Kata kuncinya “cerdas”, mereka yang mudah ter”papar” adalah mereka yang hanya hidup dalam tempurungnya sendiri dan menjunjung mimpi sebagai sebuah prestasi.
Sigmund Freud https://psychoanalysis.org.uk/our-authors-and-theorists/sigmund-freud, jauh jauh hari sudah mengingatkan bahwa Manusia tidak akan pernah bisa lepas dari 3 unsur utama alam bawah sadar, conscious, preconscious dan sub conscious, semua perilaku kita tanpa kita sadari bergantung pada 3 hal tersebut.
Saya ber teori, ada 3 kelompok manusia yang rentan ter”papar” suatu faham yang kontra dengan norma norma sosial dan berkehidupan.
  1. Golongan Apatis, mereka yang tidak peduli tergadap aspek sosial, hanya mengeluh dan mengharap perubahan jatuh dari langit
  2. Golongan Oportunis, mereka yang mencari panggung untuk kepentingan diri sediri
  3. Golongan phragmatic / fragmatis, mereka inilah yang cenderung memiliki skill tertentu dan menjadi sumber utama yang me”mapar”kan hal tertentu demi kepentingan mereka
Lho ? berarti semua orang bisa terpapar dong? Sedihnya.. iya, tapi jangan lupa kita masih punya Golongan Idealis dan yang utama adalah Golongan “Waras”is alias kelompok orang orang waras! Wkwkwk… sebenarnya, analisa strategis saya lebih dalam mebahas hal ini, tapi atas nama ke hati  hatian, saya tidak dapat secara gamblang memaparkan seluruhnya kepada publik.
Seperti sudah dibahas diatas, Power of repetation, adalah strategi yang umumnya digunakan oleh mereka yang mencoba me”mapar”kan suatu hal yang Seolah olah benar, dengan bumbu radikalisme.
Mereka akan meng ulang ulang narasi yang sama, dengan kedok perintah Agama (biasanya) dan tambahan bumbu fitnah dan cerita karangan versi mereka, demi mempengaruhi korbanya.
Parahnya lagi, mereka adalah orang orang yang tidak bersembunyi dan ada di depan kita, merekapun  tampil sebagai sosok yang secara kasat mata terlihat patut untuk dijadikan panutan.
Dalam perjalanan Negeri bernama Indonesia, sudah berkali kali kita di hadapkan pada konflik berbau separatisme dan radikalisme, dan berkali kali pula Burung Garuda penjaga NKRI Tegak berdiri bersama dasar Negara Pancasiladan UUD1945.
Teori Sigmund Freud pada intinya mengingatkan kita agar selalu dalam keadaan “Alert”, waspada pada setiap kondisi dan siap melakukan tindakan preventive untuk menghindari keadaan terburuk.
Setuju, bahwa manusia suatu saat akan memiliki kelengahan, tetapi jangan lupa, Tuhan memberikan early warning bernama firasat dan logika pada setiap mahluknya.
Ketahui dulu siapa lawanmu maka kamu akan tahu cara paling tepat untuk menghadapinya, gitu kata sun Tzu, seorang jenderal ahli strategi perang yang menulis teori strateginya di abad ke 6 sebelum masehi dan masih dijadikan acuan seluruh militer dunia sampai saat ini.
Sedangkan teori saya mungkin terdengar agak absurd, “layaknya membengkokan sebatang Besi yang Lurus, kita akan berupaya sangat keras untuk membengkokanya, tetapi apabila sebuah besi telah bengkok, apapun upaya yang dilakukan untuk meluruskanya, kalaupun berhasi kelurusan sang besi tidak akan pernah sempurna.
Demikian juga dengan Manusia, semua terlahir “Lurus” tanpa cacat dan cela, orang tua manapun tidak akan mem”bengkok”an jalan seorang anak menuju arah yang salah.
Mereka yang berada di sekitar kita, orang tua, anak, kakak, adik, saudara, teman, sahabat harus saling menjaga dan saling mengingatkan.
Katakan yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar!
Jadikan Ilmu pengetahuan, pengalaman dan Agama sebagai satu kesatuan formula untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sebagai bagian yang terpisah.
Bukan hal yang mudah merubah suatu hal yang tanpa kita sadari sudah terlanjur ter”papar” dalam jangka waktu yang lama.
Luangkan waktu untuk berpikir “Cerdas”, saat kita tahu orang yang kita sayangi mulai berperilaku anti sosial dan memiliki tendensi negative, bertindaklah segera tanpa kompromi.
Tidak ada yang bisa kita lakukan selain mencegah, karena kalau sampai kita harus merubah, maka perjuangnya akan jauh lebih sulit.
Jangan paparkan mereka yang masih “lurus” (anak anak yang masih dibawah umur dan mereka yang masih mencari jati diri) dengan hal yang tidak kita ketahui.
Berikanlah mereka hak dalam menetukan pilihan dan perkaya dengan kemampuan tambahan yang bersifat sosial, seni, budaya dan teknologi.
Jauhkan segera dari lingkungan berpengaruh buruk, bahkan dalam hal pendidikan sekalipun.
Dan jangan pernah lelah dan lengah, karena mereka yang mencari mangsa akan terus mencoba dengan segala cara.
Paparan Radikalisme tidak akan bisa kita hadapi dengan kekuatan apapun selain meng”upgrade” diri kita sendiri dengan pola pikir yang berdasar pada logika dan keterbukaan wacana.
Setuju, bahwa segala hal yang berbau duniawi adalah hanya sementara, tapi jangan lupa bahwa kita berpijak pada bumi dan beratap langit selama kita masih bernafas, hargailah apa yang maha kausa berikan kepada kita, toh kita tidak harus menuruti “kata orang” untuk menuju kehidupan kekal selanjutnya kan?
Terpapar atau memaparkan diri adalah sebuah pilihan.
Cerdaslah dan pertimbangkan dirimu dan lingkungan terdekatmu sebelum kamu memikirkan orang lain yang “belum tentu” memikirkanmu disaat mereka sudah menguasaimu demi kepentingan mereka.
Middle 2019
Joey B
Saya Masih waras