12 Jun 2009
My priceless Experience 1
Tangannya terasa begitu dingin hingga mampu menembus sarung tangan putih yang melindungi jari-jarinya..
Wajah polosnya terlihat begitu biasa, tanpa make up, tanpa ada perbedaan dari manusia lainya
Baju terusan warna hijau tua dengan motif bunga-bunga merah dan pasmina yang terbalut menutupi kepala hingga separuh wajah menutupi noda hitam yang mulai merata.
Kesederhanaan terlihat begitu jelas dibalik sinar mata yang tak bisa berbohong sedang menanggung beban berat… sangat berat..
Kami hanya berdua, duduk berhadapan, di dalam sebuah ruangan kedap suara berukuran 4 X 4, diam, membisu seribu bahasa..
Kuhela nafasku perlahan dan tanpa sadar kedua mataku kini mulai bergetar
Bertahun-tahun terlatih bicara dan walau dititiskan sebagai salah satu mahluk bertalenta bicarapun seakan tak mampu membantu bibirku untuk mengolah sepatah kata
Apa kabar ibu?
Kata pertamapun akhirnya terlontar setelah kukumpulkan semua kekuatan untuk memulai bicara, selanjutnya obrolanpun mengalir dengan hangat.. sangat hangat..
Ibu tahu kok kalau ibu akan mati..
Terhenyakku mendengar kata-kata yang terlontar ditengah obrolan, semua berubah hening, tak ada suara, tak ada udara, hanya ada kita berdua.
Ibu Cuma bisa pasrah dan berharap, apa yang terjadi sama ibu ndak terjadi sama orang lain..
60 menit kami berdua berbagi dan bicara..
60 menit yang sangat amat berarti buat hidupku
Salah satu 60 menit yang ngga akan bisa aku lupain
Selamat jalan Ibu.. sekarang ibu sudah sembuh, tidak ada lagi dosa yang harus ibu tanggung dan menjadi beban dalam perjalanan hidup ibu.
Catatan untuk teman-teman gw yang ada disana waktu itu :
Dasar monyet lo semua ! lo pikir Ibu itu akan gigitlo kalau lo salaman sama dia? Apa sih susahnya menghargai orang lain yang tau bahwa dia akan mati?
Tribute to seorang ibu penderita AIDS yang aku “recording” interview di suatu hari biasa yang berubah menjadi luar biasa.
Jakarta Oktober 1998
Joy B Handoyo
My priceless Experience
Wajah polosnya terlihat begitu biasa, tanpa make up, tanpa ada perbedaan dari manusia lainya
Baju terusan warna hijau tua dengan motif bunga-bunga merah dan pasmina yang terbalut menutupi kepala hingga separuh wajah menutupi noda hitam yang mulai merata.
Kesederhanaan terlihat begitu jelas dibalik sinar mata yang tak bisa berbohong sedang menanggung beban berat… sangat berat..
Kami hanya berdua, duduk berhadapan, di dalam sebuah ruangan kedap suara berukuran 4 X 4, diam, membisu seribu bahasa..
Kuhela nafasku perlahan dan tanpa sadar kedua mataku kini mulai bergetar
Bertahun-tahun terlatih bicara dan walau dititiskan sebagai salah satu mahluk bertalenta bicarapun seakan tak mampu membantu bibirku untuk mengolah sepatah kata
Apa kabar ibu?
Kata pertamapun akhirnya terlontar setelah kukumpulkan semua kekuatan untuk memulai bicara, selanjutnya obrolanpun mengalir dengan hangat.. sangat hangat..
Ibu tahu kok kalau ibu akan mati..
Terhenyakku mendengar kata-kata yang terlontar ditengah obrolan, semua berubah hening, tak ada suara, tak ada udara, hanya ada kita berdua.
Ibu Cuma bisa pasrah dan berharap, apa yang terjadi sama ibu ndak terjadi sama orang lain..
60 menit kami berdua berbagi dan bicara..
60 menit yang sangat amat berarti buat hidupku
Salah satu 60 menit yang ngga akan bisa aku lupain
Selamat jalan Ibu.. sekarang ibu sudah sembuh, tidak ada lagi dosa yang harus ibu tanggung dan menjadi beban dalam perjalanan hidup ibu.
Catatan untuk teman-teman gw yang ada disana waktu itu :
Dasar monyet lo semua ! lo pikir Ibu itu akan gigitlo kalau lo salaman sama dia? Apa sih susahnya menghargai orang lain yang tau bahwa dia akan mati?
Tribute to seorang ibu penderita AIDS yang aku “recording” interview di suatu hari biasa yang berubah menjadi luar biasa.
Jakarta Oktober 1998
Joy B Handoyo
My priceless Experience
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar